Sinergipuspita.com – Sahabat Puspita, stop menakut-nakuti anak hanya demi membuat mereka patuh! Siapa yang pernah bilang, “Awas lho, nanti disuntik dokter!” saat si kecil tak mau makan atau mandi? Atau pernah menunjukkan video tokoh seram sambil berkata, “Nih, nanti dijemput kalau nakal!”? Meskipun niatnya hanya agar anak patuh, kebiasaan menakut-nakuti bisa berdampak serius pada kondisi psikologis anak. Stop takuti anak untuk mendidik!
Yuk, kita kenali 7 dampak buruk dari kebiasaan ini dan kenapa kita perlu segera stop takuti anak dalam pola asuh sehari-hari.
7 Dampak Buruk Menakut-Nakuti Anak
- Anak Tumbuh Jadi Penakut dan Tak Mandiri
Ketika anak terlalu sering diancam dengan hal-hal menyeramkan, mereka jadi takut mencoba hal baru. Mereka merasa tidak aman, dan akhirnya tumbuh jadi pribadi yang selalu butuh perlindungan. Padahal, keberanian dan kemandirian sangat penting untuk masa depan mereka.
- Kepercayaan Diri Anak Terus Menurun
Kalimat seperti “Awas ya, nanti Ibu tinggal!” bisa membuat anak merasa dirinya selalu salah. Jika terus terjadi, anak akan tumbuh dengan rasa tidak percaya diri, takut mengambil keputusan, dan merasa dirinya tidak cukup baik.
- Bisa Menyebabkan Kecemasan atau Trauma
Ketakutan yang ditanam sejak kecil bisa menetap hingga dewasa. Misalnya, karena sering ditakut-takuti soal “hantu”, anak jadi takut gelap sampai besar. Ini bisa berujung pada gangguan kecemasan, bahkan trauma jangka panjang.
- Anak Kehilangan Kepercayaan pada Orang Tua
Kalau orang tua sering mengancam dengan hal yang tidak nyata dan tak pernah terjadi, anak bisa merasa dibohongi. Akibatnya, hubungan emosional pun jadi renggang. Anak jadi enggan terbuka karena tak lagi percaya pada ucapan orang tuanya.
- Munculnya Fobia yang Tak Hilang Seumur Hidup
Usia 2–4 tahun adalah fase di mana anak menyerap segala hal dengan cepat, termasuk ketakutan. Jika terus ditakuti, anak bisa tumbuh dengan fobia tertentu—takut dokter, takut polisi, atau takut mandi. Fobia ini bisa menghambat kehidupan sosial dan emosionalnya.
- Menyebarkan Ketakutan ke Teman Sebaya
Anak yang sering ditakuti akan cenderung mengulang pola tersebut ke teman-temannya. Misalnya, bilang “Nasi bisa nangis kalau nggak dihabiskan!” Akibatnya, ketakutan yang tidak rasional terus diwariskan dan makin sulit diluruskan.
- Anak Jadi Terlalu Bergantung pada Orang Lain
Karena tak terbiasa menyelesaikan masalah sendiri, anak jadi tak percaya diri dan selalu menunggu bantuan orang dewasa. Ketika dewasa nanti, ini bisa menghambat mereka menghadapi tantangan kehidupan.
Lalu, Bagaimana Cara yang Lebih Baik?
Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga, Sani Budiantini Hermawan, dalam wawancaranya bersama Alinea.id, terdapat beberapa langkah yang dinilai lebih baik daripada menakut-nakuti anak. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Pahami Kepribadian dan Waktu yang Tepat
Setiap anak punya karakter berbeda. Ada yang mudah diajak bicara saat suasana tenang, ada pula yang lebih terbuka setelah melakukan aktivitas bersama. Orang tua perlu menyesuaikan pendekatan sesuai kebutuhan anak.
- Gunakan Dialog, Bukan Ancaman
Pola asuh yang demokratis mengutamakan proses diskusi dua arah. Bukan sekadar memberi perintah, tapi membangun kesepahaman bersama. Saat menegur, gunakan data dan alasan yang jelas, bukan asumsi.
- Bangun Kedekatan Emosional Secara Alami
Menjadi partner, bukan hakim. Ciptakan hubungan yang cair dengan mengenal dunia sosial anak, termasuk berteman dengan teman-temannya. Dengan begitu, anak merasa nyaman untuk terbuka tanpa merasa dihakimi.
- Gunakan Pola Tarik-Ulur Secara Seimbang
Kadang orang tua perlu mendekat, memberi ruang, lalu mendekat lagi. Dinamika ini penting untuk menumbuhkan kemandirian anak, sambil tetap memberi rasa aman bahwa orang tua selalu ada di sisinya.
- Konsultasi Jika Diperlukan
Jika orang tua merasa kewalahan menghadapi perilaku anak, langkah terbaik adalah berkonsultasi dengan psikolog yang memiliki kompetensi dan izin praktik. Hindari mengikuti tren pola asuh yang belum tentu aman secara psikologis.
Stop Menakut-nakuti Anak Untuk Mendidik, Dukung Tumbuh Kembang Anak dengan Pola Asuh Positif!
Sahabat Puspita, cara kita mendampingi anak hari ini akan menentukan siapa mereka di masa depan. Dengan komunikasi yang hangat dan pola asuh yang penuh cinta, anak-anak bisa tumbuh jadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan bahagia.
Dukung Anak Yatim dan Dhuafa Bersama Sinergi Puspita
Pola asuh yang baik adalah hak setiap anak—termasuk anak-anak yatim dan dhuafa. Sinergi Puspita hadir melalui program gizi dan pendidikan untuk mendampingi ibu-ibu dan keluarga yang membutuhkan, agar anak-anak bisa tumbuh dengan sehat dan penuh kasih sayang.
Yuk, bantu lebih banyak anak merasakan pengasuhan yang layak, aman, dan membangun.
Karena setiap anak, tanpa terkecuali, berhak merasa disayangi dan didukung menjadi generasi yang tangguh.
Mari bersama stop takuti anak dan hadirkan pengasuhan yang sehat bagi semua anak Indonesia, termasuk yatim dan dhuafa.