Sekolah Jam 6 Pagi. Ibu, Hati-Hati Ini Dampaknya Bagi Anak!

Sinergipuspita.com— Sahabat Puspita, baru-baru ini Gubernur Jawa Barat—yang kerap disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM)—mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan banyak orang tua. Seluruh jenjang pendidikan, dari PAUD hingga SMA di Jawa Barat, akan mulai sekolah jam 6 pagi.

Tujuan kebijakan ini adalah membentuk generasi yang lebih disiplin, produktif, dan tangguh secara karakter. Namun, para ibu perlu cermat mempertimbangkan dampaknya bagi anak-anak tercinta. Apakah masuk sekolah lebih pagi benar-benar membantu? Atau justru berisiko terhadap tumbuh kembang mereka?

Sekolah Jam 6 Pagi, Ini Dampak Positif dan Negatifnya!

Kebijakan ini menuai berbagai tanggapan dari pakar pendidikan, psikolog anak, hingga orang tua. Mari kita bahas dampak positif dan negatifnya secara seimbang:

Dampak Positif Sekolah Jam 6 Pagi:

  • Melatih Disiplin Sejak Dini: Anak-anak diajarkan untuk bangun lebih awal dan menghargai waktu sejak kecil.
  • Hari Lebih Produktif: Jam belajar dimulai saat tubuh masih segar. Pulang sekolah pun lebih awal, memberi waktu untuk aktivitas lainnya.
  • Menghindari Cuaca Terik: Berangkat pagi bisa menghindarkan anak dari paparan panas siang saat pulang sekolah.

Dampak Negatif yang Harus Diwaspadai:

  • Kurang Tidur dan Gangguan Kesehatan: Anak SD membutuhkan 9–11 jam tidur. Jika harus bangun pukul 04.30, kebutuhan istirahat mereka bisa terganggu.
  • Konsentrasi Menurun: Anak yang mengantuk cenderung sulit fokus, mudah lelah, bahkan lebih emosional.
  • Beban Ganda bagi Ibu dan Guru: Mayoritas guru perempuan juga berperan sebagai ibu. Mereka harus bangun lebih pagi untuk mengurus anak dan mengajar.
  • Masalah Keamanan dan Transportasi: Tidak semua anak memiliki akses transportasi aman. Berangkat di saat langit masih gelap bisa berbahaya.

Kata Para Ahli Pendidikan dan Psikolog Anak Mengenai Sekolah Jam 6 Pagi!

Tina Hayati, akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia, mealui Tempo.com menekankan bahwa pendekatan pendidikan seharusnya menyentuh seluruh aspek perkembangan siswa dan guru. “Mayoritas guru di Indonesia adalah perempuan dan juga seorang ibu. Kalau masuk sekolah jam 6 pagi, bagaimana mereka bisa membagi peran ganda itu?” ujarnya.

Sementara itu, Bukik Setiawan, seorang pengamat pendidikan, melalui detik.com menyampaikan, “Niat untuk meningkatkan kedisiplinan tentu patut diapresiasi, tapi jika kebijakan itu mengabaikan kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial anak, maka justru akan mengganggu kualitas belajar dan kesejahteraan mereka.”

Senada dengan itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai wacana masuk sekolah terlalu pagi justru kontraproduktif terhadap upaya membangun kualitas hidup dan tumbuh kembang anak. “Akan percuma masuk terlalu pagi, tapi kualitas pembelajaran masih rendah,” tegas Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id.

Suara Ibu dan Anak: Antara Disiplin dan Kelelahan?

Pandangan para ahli sejalan dengan realita yang dirasakan orang tua dan siswa. Banyak ibu mengaku cemas. Seorang ibu di Bandung mengungkapkan, “Anak saya baru bisa tidur jam 9 malam. Kalau harus bangun jam 4.30 pagi, belum tentu sempat sarapan. Di jalan ngantuk, di kelas lesu.”

Namun, ada juga yang mendukung. Bu Yuliawati dari Bekasi, misalnya, merasa anaknya kini lebih teratur. “Anak saya jadi tidur lebih cepat, subuh tidak leha-leha lagi. Menurut saya, ia jadi lebih produktif sejak sekolah mulai pagi,” ujarnya.

Sementara itu, suara dari siswa sendiri tidak kalah penting. Kaina, siswi SMP, mengaku keberatan. “Saya sering ngantuk kalau malamnya ada PR. Teman-teman saya juga banyak yang merasa keberatan,” katanya.

Bandingkan dengan Negara Lain: Apakah Lebih Pagi Lebih Baik?

Jika menoleh ke luar negeri, negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik justru memulai sekolah lebih siang. Di Finlandia, sekolah dimulai pukul 8 atau 9 pagi. Bahkan di negara yang dikenal sangat disiplin seperti Jepang dan Korea Selatan, jam masuk sekolah rata-rata adalah pukul 8 pagi.

Hal ini menunjukkan bahwa karakter dan kedisiplinan bisa dibentuk tanpa memaksa anak bangun saat langit masih gelap. Sistem yang konsisten, lingkungan yang mendukung, serta tubuh yang sehat jauh lebih menentukan kualitas belajar anak.

Alternatif yang Lebih Bijak: Disiplin Tanpa Memaksa

Bagaimana cara menanamkan kedisiplinan tanpa mengorbankan kesehatan anak? Beberapa pendekatan berikut bisa menjadi solusi:

  • Membiasakan tidur lebih awal melalui edukasi ke orang tua dan siswa.
  • Menyediakan akses transportasi sekolah yang aman dan nyaman di pagi hari.
  • Menambah kegiatan ringan seperti literasi pagi sebelum pelajaran inti dimulai.

Dengan cara-cara ini, anak tetap bisa belajar disiplin, tanpa harus kehilangan waktu istirahat yang sangat mereka butuhkan.

Sinergi Puspita dalam program "sekolah sehat"

Percuma Masuk Lebih Pagi Kalau Mereka Tak Bisa Sekolah

Sahabat Puspita, sebelum bicara soal jam masuk sekolah, mari kita hadapi kenyataan pahit: masih banyak anak yatim dan dhuafa yang bahkan belum tentu bisa sekolah sama sekali. Masalah mereka bukan soal bangun pagi, tapi soal bisa atau tidaknya mengenyam pendidikan dengan layak—dalam kondisi kenyang dan tubuh sehat.

Melalui program Sekolah Sehat, Sinergi Puspita selama 8 minggu memberikan makan siang bergizi kepada 97 siswa kelas 3, 4, 5, dan 6 di SDN 02 Lambangsari sejak 2 September hingga 2 Oktober 2024. Mayoritas siswa di sekolah ini adalah anak dari petani dan buruh.

Ke depan, Sinergi Puspita akan terus memperluas program beasiswa pendidikan dan pemenuhan gizi bagi anak-anak yatim dan dhuafa dengan semangat belajar tinggi, demi menjemput masa depan mereka. Karena, percuma sekolah dimulai lebih pagi jika mereka bahkan tak punya seragam, tak bisa membayar uang sekolah, atau tak mampu naik angkot ke sekolah.

Mari kita dukung kebijakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kedisiplinan, tetapi juga memperhatikan kesehatan, kesiapan mental, dan keadilan akses bagi semua anak. Karena membangun generasi hebat bukan hanya soal bangun pagi, tetapi juga memastikan tak ada anak yang tertinggal hanya karena mereka lahir dari keluarga kurang mampu.