Berdasarkan hasil SSGI 2021, prevalensi stunting menunjukkan penurunan dari 27,7% di tahun 2019 menjadi 24,4%. Namun, prevalensi underweight mengalami peningkatan dari 16,3% menjadi 17%.
Sementara itu, data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI di tahun 2021, dari 25 ribu anak usia sekolah di 34 provinsi yang sarapan, 66,8% anak tidak sarapan dengan gizi seimbang.
Itu berarti, anak-anak sarapan dengan kualitas makanan yang kandungan gizinya rendah. Terutama tanpa asupan vitamin dan mineral. Padahal zat gizi tersebut sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan anak hingga usia 15 tahun.
Sedangkan International Journal of Health Policy and Management memaparkan, perilaku dan kebiasaan makan yang tidak sehat sebagai faktor risiko dari banyak penyakit tidak menular (PTM), termasuk kanker,obesitas, tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Dampak buruk jajanan anak yang tidak sehat juga bisa memberi tekanan pada jantung dan paru-paru serta gejala dapat muncul bahkan dengan tiba-tiba. Anak mungkin akan mengalami kesulitan bernapas saat berjalan atau berolahraga.
Memilih jajanan anak harus sehat dan baik, karena jajanan anak yang tidak sehat ini akan menganggu daya tahan tubuh.
Anak yang terlalu banyak makan camilan yang tak terjamin kadar gizinya akan mengalami masalah pertumbuhan. Kasus terburuknya, banyak jajanan anak yang beredar di pasaran banyak mengandung bahan pengawet, zat pewarna, penyedap rasa, dan sebagainya.
Selain itu, jajanan anak yang mengandung perisa atau terlalu gurih juga tidak baik, karena dapat memicu darah tinggi, kolestrol dan diabetes pada anak.
Anak-anak dalam usia pertumbuhan antara 6 sampai 12 tahun perlu mengonsumsi berbagai makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Makanan sehat dengan gizi seimbang dibutuhkan anak untuk mendukung proses belajar dan kosentrasi.