Kisah Bu Nacih, Bukti Nyata Keterbatasan Bukan Akhir Segalanya

sinergipuspita.com – Kisah Bu Nacih merupakan bukti nyata dimana keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Ini bisa dijadikan pembelajaran dan motivasi hidup atas segala yang Allah berikan kepda kita.

Di balik senyum hangat, Bu Nacih menyimpan kisah perjuangan yang luar biasa. Ibu tunggal yang mengabdi selama 10 tahun sebagai guru honorer di sebuah sekolah. Sudah dua kali upayanya meraih status pegawai harus kandas karena masalah kesehatan. Ia tidak menyerah dan terus berjuang, menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.

Bu Nacih berasal dari keluarga sederhana. Sejak SMA, ia berusaha mendapatkan beasiswa untuk meringankan beban orang tuanya. Aktif di Pramuka sejak SMP, ia sering mengikuti perlombaan yang memberinya banyak pengalaman baru. Saat SMA, ia dipercaya menjadi pelatih Pramuka, yang membantunya memperoleh uang saku sendiri.

Dengan tekad kuat dan ijazah SMA yang baik, Bu Nacih mulai mengajar di sekolah. “Alhamdulillah, saat itu saya mendapat tawaran beasiswa untuk S1. Saya ingin mengejar sertifikasi guru tetap di sini,” kenangnya. Berkat kerja keras dan doa, ia berhasil menempuh pendidikan tanpa biaya.

Namun, ketika kesempatan sertifikasi datang, Bu Nacih harus menjalani operasi usus buntu. Kesempatan yang selama ini ia nantikan pun harus dilepaskan. Tak lama setelah itu, suaminya yang selama ini menjadi sandaran hidupnya meninggal dunia akibat penyakit paru-paru. Kehilangan belahan jiwa dan ayah bagi anaknya membuat dunia Bu Nacih runtuh. Ia berusaha bertahan, tetapi hatinya rapuh, tubuhnya lelah, dan hidup terasa semakin berat.

Di tengah duka yang belum juga reda, Bu Nacih kembali diuji. Rasa nyeri yang kerap ia abaikan di lututnya semakin parah, hingga akhirnya ia divonis harus menjalani operasi lutut. Namun, operasi itu bukan akhir dari kesakitannya. Justru, sejak saat itu, hidupnya berubah drastis. Ia kehilangan kemampuan untuk berjalan. Hari-harinya dihabiskan hanya berbaring di kasur, tak bisa bergerak, tak bisa mengurus anaknya sendiri. “Jalan saya selalu tidak mudah, Kak. Saya gagal dua kali sertifikasi guru. Sudah capek, nggak tahu lagi harus ngapain. Saya nggak bisa apa-apa,” ungkapnya.

Bukan hanya impiannya yang terasa hancur, tetapi juga semangat hidupnya. Ia merasa tak berguna, tak mampu berbuat apa-apa. “Saya sudah gak ada semangat hidup, Kak. Gak tahu bisa apa lagi di dunia ini. Sempat mau sudahi ini semua, tapi anak saya nggak punya siapa-siapa lagi.” Hanya anaknya yang membuatnya bertahan. Namun, setiap hari terasa seperti beban yang semakin menghimpit. Ia menangis dalam diam, bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir.

Di saat terendahnya, anaknya setia merawatnya dengan penuh kasih. Ia pun menemukan ketenangan dalam membaca Al-Qur’an setiap hari.

 

“Masyaallah, atas izin Allah, saya yang tadinya hanya bisa terbaring perlahan mulai membaik. Walaupun belum bisa berjalan hingga saat ini, saya bisa duduk di kursi roda.”-ujar bu Nacih.

Setelah bertahun-tahun berusaha berdamai dengan kondisinya, pada 2021, Bu Nacih memutuskan untuk mengajar anak-anak di lingkungannya. Dengan duduk di kursi roda, ia tetap berbagi ilmu. Banyak anak yang belum bisa membaca dan menghitung, dan ia merasa terpanggil untuk membantu mereka. Dari kegiatan ini, ia juga mendapatkan sumber penghasilan, meskipun beberapa muridnya tidak mampu membayar. “Ada yang sampai enam bulan tidak membayar, tapi saya ikhlas,” ujarnya.

Saat ini, sekitar 40 anak belajar bersamanya setiap hari. Dari pagi hingga malam, ia tetap semangat mendidik mereka. “Saya berusaha berjuang sebisa mungkin untuk anak saya, saya ikhlas, ridho. Saya ingin anak-anak pintar. Ilmu yang saya punya harus saya bagikan.”

Bu Nacih telah melewati ujian hidup yang begitu berat. Kehilangan suami, kondisi fisik yang melemah hingga tak bisa berjalan, semua itu sempat mengguncang hidupnya. Namun, ia tak pernah menyerah. Baginya, setiap cobaan adalah bagian dari ketetapan Allah, dan tugasnya sebagai hamba adalah bersabar serta terus berbuat baik. Dalam sakit dan duka, ia tetap mendidik anak-anak dengan penuh keikhlasan, meyakini bahwa ilmu yang ia bagikan akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.

Keteguhan hati dan keyakinan dapat menuntun seseorang melewati rintangan seberat apa pun. Semangatnya mengajarkan kita bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari cara baru untuk tetap berkarya. Semoga kisah bu Nacih menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus berjuang dan berbuat baik bagi sesama.